TULISAN ALDA

Kamis, 30 Desember 2010

Ekonomi Kerakyatan Koperasi Unit Desa


Berbeda dengan perhatian lebih pada wilayah perkotaan yang memiliki nilai jual dan menghasilkan pendapatan (income) bagi daerah provinsi. Akibatnya, KUD sebagai warisan asli (genuine) masyarakat pedesaan meredup bak cahaya lilin yang terhembusi angin malam.

Teramat mengkhawatirkan sekali kalau kondisi demikian harus menimpa sebuah komunitas warga masyarakat yang sebagian besar menduduki wilayah Jabar ini. Sebab, tanpa penopang yang kokoh dalam mengembangkan sisi perekonomian secara kolegial dalam tradisi sosial warga pedesaan, tentunya akan berimplikasi pada penurunan keberdayaan warga untuk mempertahankan hidup.

Pertanyaannya, bagaimanakah dengan eksistensi KUD di tatar Sunda yang secara demografis warga pedesaan sebagai pengamal KUD banyak mendiami wilayah Jabar? Lalu, mengapa kecenderungan pemerintah lebih menganaktirikan warga pedesaan yang memiliki model perekonomian “nyunda” seperti terkandung dalam sebuah sistem perekonomian kolegial koperasi? Lantas, prioritas macam apakah yang mesti dilakukan oleh para pemimpin berkenaan dengan pemeliharaan koperasi di wilayah Jabar, khususnya bagi warga pedesaan?

Menegasikan privatisasi modal
Dalam sistem sosial-ekomomi warga Sunda, sejak tahun 1940-an, ketika akan menghadapi musim paceklik (halodo) kita mengenal tradisi perekonomian “nyunda” yang mencerminkan prinsip kekeluargaan (kolegial). Yakni adat kebiasaan dalam mengumpulkan beras sekitar satu canting (baca: satu sendok) oleh kepala keluarga setiap bulan dan dikumpulkan di lumbung desa serta terkenal dengan istilah “beas perelek” (Harry Hikmat, 2004: 140).

Model perekonomian yang mengandung nilai kebersamaan ini adalah satu dari sekian banyak ciri khas perekonomian warga yang berkarakter “nyunda”. Sama persis dengan konsep perekonomian yang terkandung dalam gagasan Koperasi Unit Desa dengan azas kekeluargaannya.
Hal ini pun mengindikasikan bahwa secara ekonomis karakteristik warga Sunda menganut azas kekeluargaan dan atas pertimbangan rasa solidaritas sosial. Bahkan saking kuatnya rasa solidaritas perekonomian masyarakat Sunda, ketika membangun rumah, misalnya, masih ada sampai sekarang warga yang ”sabilulungan” kerja bakti bergotong royong secara suka rela.

Meskipun secara kuantitas, seiring perkembangan zaman ke arah peradaban “materialistik”, jumlahnya bisa dihitung jari karena semakin meluasnya kebutuhan hidup masyarakat. Budaya hidup seperti inilah yang telah lekang dimakan usia, dan ditinggalkan “ruang-waktu” sehingga ketika melakukan aktivitas perekonomian, warga pedesaan pun cenderung memprivatisasi modal.
Kekayaan tak mau dibagi-bagi, dalam hal ini untuk memberdayakan kualitas perekonomian warga di sekitar sekalipun. Maka, bermunculan “kelas-kelas” dalam stratafikasi sosial masyarakat pedesaan, meminjam istilah bahasa Sunda bertebarannya “jalma jegud”, yakni seorang warga yang menguasai kekayaan di salah satu daerah perkampungan. Sebenarnya, tujuan Bung Hatta mendirikan Koperasi adalah untuk mengikis habis sikap dan tindakan menguasai (privatisasi) modal oleh segelintir individu warga masyarakat.
Jadi, meskipun istilah “jalma jegud” ada, dengan konsep perekonomian kolegial yang digagas oleh koperasi akan berimplikasi positif terhadap kesadaran orang-orang kaya ketika menyaksikan kondisi perekonomian warga sekitarnya. Alhasil, kekayaan tidak berputar di sekitar itu-itu saja. Namun, karena sikap hidup masyarakat telah berubah 180 derajat dari kondisi warga “nyunda” ke kondisi mekanistik, maka yang muncul adalah solidaritas sosial yang mekanik, bahkan hanya terikat oleh ikatan profesi semata.

Seperti yang tercermin pada karakteristik perekonomian warga perkotaan yang cenderung ind ividulasitik. Karena itu, menegasikan privatisasi modal sebagai imbas dari menjamurnya konsep perekonomian “neo-liberal” di zaman, katanya, modern ini adalah sebuah keniscayaan. Sebab, tanpa adanya distribusi yang adil disinyalir akan banyak bertebaran kesetimpangan, ketidakadilan, dan ketertindasan masyarakat “grassroot”, dalam hal ini adalah menggejalanya kemiskinan warga di pedesaan.
Karena itu, jangan pernah kita, meminjam istilah Hikmat Budiman dalam bukunya Lubang Hitam Kebudayaan (2003), mengalami “amputasi sosial”. Sebab, sikap dan tindakan perekonomian pun akan mencerminkan kelumpuhan “sense of crisis” ketika berlalu lalang dengan warga di pedesaan yang sedemikian kalut menghadapi karut-marut kehidupan.

Prioritaskan
Meskipun ada suntikan dana dari Pusat untuk menanggulangi kemiskinan, kerap kali disalurkan dengan tata cara yang “tak tepat sasaran”. Misalnya, pemberian bantuan tunai langsung (BLT) pada warga hanya diberikan secara langsung per bulan untuk dihabiskan, tanpa ada upaya pengembangan keterampilan hidup. Dalam kondisi demikian, warga pedesaan tidaklah membutuhkan uang ratusan ribu yang hanya bisa dinikmati dalam hitungan hari saja. Namun, memerlukan sebuah lembaga yang bisa mengangkat kondisi perekonomian setiap kepala keluarga yang telah sedemikian psusing dengan kesemrawutan hidup.

Yang pasti, eksistensi KUD kreatif dan inovatif dalam konteks lokal Jawa Barat sangatlah diperlukan oleh warga pedesaan. Sehingga dengan berbagai bentuk pelayanan berkualitas, perekonomian warga pun bisa terangkat ke posisi teraman dan mampu menghindar dari ancaman lubang menganga bernama degradasi ekonomi. Seandainya pemerintah provinsi Jabar bisa menauladani PSSI dalam menghapus “zona degradasi tim sepakbola”, misalnya, dan diterapkan dalam sebuah kebijakan atraktif menghapus “degradasi perekonomian”, saya kira riuh gemuruh tepuk tangan pun akan terus-menerus terdengar.
Maka, saya kira perhatian pemerintah terhadap keberlangsungan tradisi perekonomian yang berprinsip kekeluargaan dan kebersamaan untuk saat ini mesti diprioritaskan, dalam hal ini keberlangsungan peran KUD dalam kehidupan praktis masyarakat. Sebab, sebagai sebuah konsep perekonomian rakyat, KUD adalah semacam perangkat yang tepat untuk mengembangkan kualitas hidup warga pedesaan.
Tak arif rasanya kalau eksistensi warga pedesaan hanya dijadikan “komoditas politik” sebagai kantong perolehan suara oleh para pengusung calon Gubernur dan Bupati setiap kali pemilihan berlangsung. Namun sayangnya, setelah pemilihan berakhir, maka warga pedesaan pun kembali terlupakan.

Oleh : Sukron Abdilah
Sumber: Kabar Indonesia

Arti, Pengertian, Definisi, Fungsi dan Peranan Koperasi / Koprasi Indonesia dan Dunia - Ilmu Ekonomi Koperasi / Ekop

Koperasi adalah merupakan singkatan dari kata ko / co dan operasi / operation. Koperasi adalah suatu kumpulan orang-orang untuk bekerja sama demi kesejahteraan bersama. Berdasarkan undang-undang nomor 12 tahun 1967, koperasi indonesia adalah organisasi ekonomi rakyat yang berwatak sosial dan beranggotakan orang-orang, badan-badan hukum koperasi yang merupakan tata susunan ekonomi sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
Berikut di bawah ini adalah landasan koperasi indonesia yang melandasi aktifitas koprasi di indonesia.
- Landasan Idiil = Pancasila
- Landasan Mental = Setia kawan dan kesadaran diri sendiri
- Landasan Struktural dan gerak = UUD 1945 Pasal 33 Ayat 1
A. Fungsi Koperasi / Koprasi
1. Sebagai urat nadi kegiatan perekonomian indonesia
2. Sebagai upaya mendemokrasikan sosial ekonomi indonesia
3. Untuk meningkatkan kesejahteraan warga negara indonesia
4. Memperkokoh perekonomian rakyat indonesia dengan jalan pembinaan koperasi
B. Peran dan Tugas Koperasi / Koprasi
1. Meningkatkan tarah hidup sederhana masyarakat indonesia
2. Mengembangkan demokrasi ekonomi di indonesia
3. Mewujudkan pendapatan masyarakat yang adil dan merata dengan cara menyatukan, membina, dan mengembangkan setiap potensi yang ada

SUMBER DARI: http://organisasi.org/arti_pengertian_definisi_fungsi_dan_peranan_koperasi_koprasi_indonesia_dan_dunia_ilmu_ekonomi_koperasi_ekop

Tidak ada komentar:

Posting Komentar